Jumat, 19 April 2013

KRITIK FPI TERHADAP RUU ORMAS

   SIKAP FPI DALAM RDP DENGAN BALEG DPR RI 19 JULI 2011
RUU Ormas pengganti UU Ormas Nomor 8 Tahun 1985 yang merupakan Prolegnas 2010-2014, saat ini sedang dibahas oleh DPR. Tentu saja dalam pembahasannya RUU Ormas, harus menjamin kebebasan dan keberadaan ormas itu sendiri. RUU Ormas juga harus tetap berprinsip pada pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) dan mendorong terciptanya transparansi dalam mengelola kegiatan dan transparansi dalam pengelolaan anggaran Ormas.
Dengan semakin banyak tumbuh dan berkembangnya serta meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan bernegara tentu saja revisi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985  tentang Organisasi Kemasyaratan harus mendapat prioritas penuh. Akan tetapi harus digaris bawahi, RUU Ormas yang sedang dibahas isinya tidak boleh mengekang kebebasan berpendapat. Kalau dikekang, apa bedanya dengan UU sebelumnya. Oleh karena itu substansi UU Ormas Nomor 8 Tahun 1985 yang masih syarat dengan paradigma kontrol dari negara terhadap kehidupan politik masyarakat, kehidupan sosial masyarakat, sehingga sudah tidak sesuai dengan semangat reformasi perlu segera dicabut.
REVIEW DAN REKOMENDASI
ASAS. Secara yuridis keberadaan organisasi kemasyarakatan sampai sekarang masih diatur dalam suatu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyaratan. Undang-undang tersebut sebelumnya mewajibkan menggunakan asas Pancasila sebagai asas tunggal. Dalam sejarahnya, Pancasila ditetapkan menjadi asas tunggal lewat UU Nomor 3/1975 juncto UU Nomor 3/1985 dan UU Nomor 8/1985, tentang asas tunggal untuk parpol dan ormas. Namun, reformasi 1998 rupanya mampu menggusur asas tunggal. Melalui keputusan Sidang Istimewa MPR asas tunggal pancasila dicabut karena dianggap sebagai produk politik yang anti kebhinekaan. Keputusan Sidang Istimewa antara lain adalah kebebasan menentukan asas bagi organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan, sedangkan Pancasila hanya sebagai dasar negara. Ini berarti, jika sebelumnya partai politik dan organisasi kemasyarakatan wajib berasaskan Pancasila, kini tidak lagi. Keharusan menetapkan asas tunggal Pancasila tidak sesuai lagi dengan dengan iklim reformasi yang melindungi kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat. Oleh karena itu dalam RUU Ormas, Pasal 2 “Asas Ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Harus tetap konsisten menolak menopoli asas tunggal pancasila.
PENDAFTARAN. Pasal 16 ayat (2) huruf (b) Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum ber- “kewajibkan” menyerahkan surat pernyataan tidak berafiliasi kepada partai politik; lebih baik RUU Ormas ini mengatur dari aspek segi badan hukumnya bukan mengatur mengenai aspek-aspek yang terkait dengan kegiatan politik karena akan menjadi tidak efektif. Membuat sebuah aturan (RUU Ormas-pen) yang hanya mengawang-awang hanya ada diatas kertas tidak implementatif. Jadi ini mengatur hal yang sia-sia, hanya untaian kata-kata bagus seperti puisi, yang hanya bagus dibaca, enak didengar, tetapi tidak bisa diimplementasikan. Karena pada kenyataannya banyak ormas-ormas kepemudaan itu menjadi afiliator partai politik, bahkan partai politik membentuk ormas-ormas kepemudaan atau ormas-ormas lainnya, bahkan sekarang ini ada sebuah ormas yang kemudian melahirkan partai politik, yang kemudian ormas itu menjadi afiliator politiknya.
KEUANGAN. RUU Ormas ini harus berupaya mendorong terciptanya keterbukaan dalam mengelola sebuah Ormas. Termasuk di dalamnya soal transparansi keuangan. Ormas wajib melaporkan keuangannya. Berapa dan dari mana Ormas tersebut mendapatkan anggarannya. Dalam Pasal 33 mengenai sumber keuangan organisasi harus dikelola secara transparan dan bertanggungjawab. Soal dana asing yang banyak menguasai LSM dan Ormas untuk menjalankan agenda asing, hal ini dikarenakan memang tidak ada alokasi dana dari negara. Banyak founding agency masuk ke Indonesia karena negara ini tidak mau bertanggung jawab mengalokasikan dana untuk kegiatan Ormas.
Kalau kita ambil pengalaman dinegara-negara lain yang membiayai LSM adalah negara dari APBN-nya. Misalnya USAID itu perpanjangana tangan kepentingan politik luar negeri Amerika, begitu juga dengan negara-negara Eropa. Negara barat mempunyai perwakilan kedutaan dinegara lain itu mempunyai perpanjangan tangan dalam bentuk semi LSM, yang ia mendapatkan dana dari APBN-nya maupun ia mengumpulkan dana dari perusahaan-perusahaan dinegaranya secara langsung inilah kemudian yang membiayai LSM-LSM, baik itu LSM yang ada dinegara mereka sendiri maupun LSM yang untuk kepentingan mereka, jadi sebetulnya kesalahan utama sebetulnya bukan kita menolak atau tidak, jadi tanggung jawab kita dulu (Ormas), kemudian tanggung jawab negara untuk mengalokasikan dana tersebut.
Sekarang ini banyak sekali LSM-LSM mencari dana keluar sekarang ini karena memang tidak ada tanggung jawab negara. Jadi saya kira itu titik tolaknya. Jadi dikatakan apakah ditolak sama sekali, ukurannya adalah NATIONAL INTEREST, ukurannya nasional interest itu berlaku bagi semua negara, kalau sebuah lembaga pendanaan bekerja dimana dia bekerja ini menggunakan LSM lokal menjalankan agenda asing, ini yang berbahaya.
Oleh karena itu sebetulnya problem dana asing itu bukan problem LSM semata, tapi problem negara ini. Negara ini sebagian besar juga institusi pemerintahannya mendapat bantuan dari negara-negara asing, dari founding agency yang semi LSM tadi, jadi menurut kami harus ada pengaturan mengenai pelaporan keuangan, siapa mitranya, programnya apa saja menurut kami itu harus diserahkan oleh LSM yang bekerja sama dengan founding agency, dan itu menjadi bagian pertanggungjawaban untuk evaluasi dari kinerja program, apakah betul itu semata-mata untuk keperluan program itu atau ada hidden Agenda dibalik itu. Dan dalam beberapa kerjasama asing perlu diatur prasyarat-prasyarat dalam kontrak berdasarkan kepentingan bangsa Indonesia.
LARANGAN. RUU Ormas ini mengatur hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh Ormas maupun organisasi masyarakat asing. Larangan antara lain melakukan kegiatan yang bertentangan dengan menganggu dan merongrong kedaulatan serta keutuhan NKRI, menodai keyakinan agama, dan melakukan spionase. Selain itu Pasal 50 ayat (4) “Ormas dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.” Yang dimaksud dengan “ajaran dan paham yang bertentangan dengan Pancasila” dalam RUU ini antara lain ajaran atau paham Komunisme, Marxisme, Leninisme, Kapitalisme, dan Liberalisme.
Dalam Pasal 50 juga harus dimasukan pelarangan penyebaran terhadap paham penjajahan seperti “zionisme” yang perkembangannya di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Selain itu juga Ormas dilarang untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara yang tidak punya hubungan diplomatic dengan Indonesia, seperti Israel.
SANKSI. Pada Pasal 51, Pemerintah atau Pemerintah Daerah menjatuhkan sanksi administratif kepada Ormas yang melakukan pelanggaran ketentuan. Menurut kami sanksi yang terkait dengan hal-hal pidana itu adalah pertanggungjawaban individual tidak bisa dibebankan kepada organisasi kecuali kalau organisasinya secara tegas misalnya menyebutkan ingin memerdekakan diri dari NKRI. Mengenai sanksi itu adalah lebih baik diserahkan kepada mekanisme hukum pidana dan soal pembekuan ataupun pembubaran itu lebih baik dikaitkan dengan hal-hal yang sifatnya perlengkapan dari syarat-syarat administratif sebuah ormas baik dia berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
Catatan kami soal pembubaran harus diatur lebih rinci, bagaimana hukum acaranya, bagaimana cara hak membela diri dari ormas yang dibubarkan itu mesti ada aturan sebab kalau diserahkan ke Mahkamah Agung, pemerintah mengajukan dalam 30 hari sidang ini selambat-lambatnya harus segera ada putusan, kesempatan untuk bersidang di Mahkamah Agung juga tidak akan terpenuhi. Jadi hukum acaranya harus dibuat lebih rinci. Sebagai contoh bisa diambil misalnya di dalam soal pembubaran itu bisa diambil pasal-pasal yang ada didalam Undang-Undang MK dalam hal pembubaran partai politik. Intinya harus ada mekanisme yang fair agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. 
Sumber : www.fpi.or.id