RUU
Ormas pengganti UU Ormas Nomor 8 Tahun 1985 yang merupakan Prolegnas
2010-2014, saat ini sedang dibahas oleh DPR. Tentu saja dalam
pembahasannya RUU Ormas, harus menjamin kebebasan dan keberadaan ormas
itu sendiri. RUU Ormas juga harus tetap berprinsip pada pelaksanaan Hak
Asasi Manusia (HAM) dan mendorong terciptanya transparansi dalam
mengelola kegiatan dan transparansi dalam pengelolaan anggaran Ormas.
Dengan
semakin banyak tumbuh dan berkembangnya serta meningkatnya partisipasi
aktif masyarakat dalam kehidupan bernegara tentu saja revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyaratan harus mendapat prioritas penuh. Akan tetapi harus digaris
bawahi, RUU Ormas yang sedang dibahas isinya tidak boleh mengekang
kebebasan berpendapat. Kalau dikekang, apa bedanya dengan UU sebelumnya.
Oleh karena itu substansi UU Ormas Nomor 8 Tahun 1985 yang masih syarat
dengan paradigma kontrol dari negara terhadap kehidupan politik
masyarakat, kehidupan sosial masyarakat, sehingga sudah tidak sesuai
dengan semangat reformasi perlu segera dicabut.
REVIEW DAN REKOMENDASI
ASAS.
Secara yuridis keberadaan organisasi kemasyarakatan sampai sekarang
masih diatur dalam suatu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyaratan. Undang-undang tersebut sebelumnya mewajibkan
menggunakan asas Pancasila sebagai asas tunggal. Dalam sejarahnya,
Pancasila ditetapkan menjadi asas tunggal lewat UU Nomor 3/1975 juncto
UU Nomor 3/1985 dan UU Nomor 8/1985, tentang asas tunggal untuk parpol
dan ormas. Namun, reformasi 1998 rupanya mampu menggusur asas tunggal.
Melalui keputusan Sidang Istimewa MPR asas tunggal pancasila dicabut
karena dianggap sebagai produk politik yang anti kebhinekaan. Keputusan
Sidang Istimewa antara lain adalah kebebasan menentukan asas bagi
organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan, sedangkan Pancasila
hanya sebagai dasar negara. Ini berarti, jika sebelumnya partai politik
dan organisasi kemasyarakatan wajib berasaskan Pancasila, kini tidak
lagi. Keharusan menetapkan asas tunggal Pancasila tidak sesuai lagi
dengan dengan iklim reformasi yang melindungi kebebasan berkumpul,
berserikat, dan berpendapat. Oleh karena itu dalam RUU Ormas, Pasal 2
“Asas Ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Harus tetap konsisten
menolak menopoli asas tunggal pancasila.
PENDAFTARAN. Pasal 16 ayat (2) huruf (b) Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum ber- “kewajibkan” menyerahkan surat pernyataan tidak berafiliasi kepada partai politik; lebih
baik RUU Ormas ini mengatur dari aspek segi badan hukumnya bukan
mengatur mengenai aspek-aspek yang terkait dengan kegiatan politik
karena akan menjadi tidak efektif. Membuat sebuah aturan (RUU Ormas-pen)
yang hanya mengawang-awang hanya ada diatas kertas tidak implementatif.
Jadi ini mengatur hal yang sia-sia, hanya untaian kata-kata bagus
seperti puisi, yang hanya bagus dibaca, enak didengar, tetapi tidak bisa
diimplementasikan. Karena pada kenyataannya banyak ormas-ormas
kepemudaan itu menjadi afiliator partai politik, bahkan partai politik
membentuk ormas-ormas kepemudaan atau ormas-ormas lainnya, bahkan
sekarang ini ada sebuah ormas yang kemudian melahirkan partai politik,
yang kemudian ormas itu menjadi afiliator politiknya.
KEUANGAN. RUU
Ormas ini harus berupaya mendorong terciptanya keterbukaan dalam
mengelola sebuah Ormas. Termasuk di dalamnya soal transparansi keuangan.
Ormas wajib melaporkan keuangannya. Berapa dan dari mana Ormas tersebut
mendapatkan anggarannya. Dalam Pasal 33 mengenai sumber keuangan organisasi harus dikelola secara transparan dan bertanggungjawab. Soal
dana asing yang banyak menguasai LSM dan Ormas untuk menjalankan agenda
asing, hal ini dikarenakan memang tidak ada alokasi dana dari negara.
Banyak founding agency masuk ke Indonesia karena negara ini tidak mau bertanggung jawab mengalokasikan dana untuk kegiatan Ormas.
Kalau
kita ambil pengalaman dinegara-negara lain yang membiayai LSM adalah
negara dari APBN-nya. Misalnya USAID itu perpanjangana tangan
kepentingan politik luar negeri Amerika, begitu juga dengan
negara-negara Eropa. Negara barat mempunyai perwakilan kedutaan dinegara
lain itu mempunyai perpanjangan tangan dalam bentuk semi LSM, yang ia
mendapatkan dana dari APBN-nya maupun ia mengumpulkan dana dari
perusahaan-perusahaan dinegaranya secara langsung inilah kemudian yang
membiayai LSM-LSM, baik itu LSM yang ada dinegara mereka sendiri maupun
LSM yang untuk kepentingan mereka, jadi sebetulnya kesalahan utama
sebetulnya bukan kita menolak atau tidak, jadi tanggung jawab kita dulu
(Ormas), kemudian tanggung jawab negara untuk mengalokasikan dana
tersebut.
Sekarang
ini banyak sekali LSM-LSM mencari dana keluar sekarang ini karena
memang tidak ada tanggung jawab negara. Jadi saya kira itu titik
tolaknya. Jadi dikatakan apakah ditolak sama sekali, ukurannya adalah
NATIONAL INTEREST, ukurannya nasional interest itu berlaku bagi semua
negara, kalau sebuah lembaga pendanaan bekerja dimana dia bekerja ini
menggunakan LSM lokal menjalankan agenda asing, ini yang berbahaya.
Oleh
karena itu sebetulnya problem dana asing itu bukan problem LSM semata,
tapi problem negara ini. Negara ini sebagian besar juga institusi
pemerintahannya mendapat bantuan dari negara-negara asing, dari founding agency
yang semi LSM tadi, jadi menurut kami harus ada pengaturan mengenai
pelaporan keuangan, siapa mitranya, programnya apa saja menurut kami itu
harus diserahkan oleh LSM yang bekerja sama dengan founding agency,
dan itu menjadi bagian pertanggungjawaban untuk evaluasi dari kinerja
program, apakah betul itu semata-mata untuk keperluan program itu atau
ada hidden Agenda dibalik itu. Dan dalam beberapa kerjasama
asing perlu diatur prasyarat-prasyarat dalam kontrak berdasarkan
kepentingan bangsa Indonesia.
LARANGAN. RUU
Ormas ini mengatur hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh Ormas maupun
organisasi masyarakat asing. Larangan antara lain melakukan kegiatan
yang bertentangan dengan menganggu dan merongrong kedaulatan serta
keutuhan NKRI, menodai keyakinan agama, dan melakukan spionase. Selain
itu Pasal 50 ayat (4) “Ormas dilarang menganut dan mengembangkan serta
menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.” Yang
dimaksud dengan “ajaran dan paham yang bertentangan dengan Pancasila”
dalam RUU ini antara lain ajaran atau paham Komunisme, Marxisme,
Leninisme, Kapitalisme, dan Liberalisme.
Dalam
Pasal 50 juga harus dimasukan pelarangan penyebaran terhadap paham
penjajahan seperti “zionisme” yang perkembangannya di Indonesia sudah
sangat mengkhawatirkan. Selain itu juga Ormas dilarang untuk menjalin
kerjasama dengan negara-negara yang tidak punya hubungan diplomatic
dengan Indonesia, seperti Israel.
SANKSI. Pada Pasal 51, Pemerintah
atau Pemerintah Daerah menjatuhkan sanksi administratif kepada Ormas
yang melakukan pelanggaran ketentuan. Menurut kami sanksi yang terkait
dengan hal-hal pidana itu adalah pertanggungjawaban individual tidak
bisa dibebankan kepada organisasi kecuali kalau organisasinya secara
tegas misalnya menyebutkan ingin memerdekakan diri dari NKRI. Mengenai
sanksi itu adalah lebih baik diserahkan kepada mekanisme hukum pidana
dan soal pembekuan ataupun pembubaran itu lebih baik dikaitkan dengan
hal-hal yang sifatnya perlengkapan dari syarat-syarat administratif
sebuah ormas baik dia berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
Catatan
kami soal pembubaran harus diatur lebih rinci, bagaimana hukum
acaranya, bagaimana cara hak membela diri dari ormas yang dibubarkan itu
mesti ada aturan sebab kalau diserahkan ke Mahkamah Agung, pemerintah
mengajukan dalam 30 hari sidang ini selambat-lambatnya harus segera ada
putusan, kesempatan untuk bersidang di Mahkamah Agung juga tidak akan
terpenuhi. Jadi hukum acaranya harus dibuat lebih rinci. Sebagai contoh
bisa diambil misalnya di dalam soal pembubaran itu bisa diambil
pasal-pasal yang ada didalam Undang-Undang MK dalam hal pembubaran
partai politik. Intinya harus ada mekanisme yang fair agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Sumber : www.fpi.or.id